Selasa, 26 April 2016
Sinopsis Desa Lagetang Dieng
Nama :
Adidya Prapbandaru
Kelas :
1IA04
NPM :
50415139
DESA LAGETANG
Sinopsis :
Desa yang terdapat pada lembah
dataran tinggi Dieng Plateau tersebut menyimpan banyak cerita. Karena hampir
seluruh penduduk di Dusun Lagetang konon ceritanya hampir semua lenyap
tertimbun tanah longsor. Dahulu kala masyarakat Dusun Lagetang merupakan
petani-petani yang sukses. Misal di daerah lain tidak panen tetapi panen mereka
berlimpah ,bahkan hasil panennya lebih unggul dari hasil panen daerah lain. Dan
itulah yang membuat mayoritas penduduk Dusun Lagetang dibutakan mata hatinya
untuk bersyukur pada Tuhan Yang Maha Pemberi Nikmat. Setiap malam hari hanya
digunakan penduduk sebagai waktu untuk berfoya-foya,maksiat,dsb. Maksiat saat
itu tidak kenal tua ataupun muda ,bahkan ada seorang anak menikahi ibu
kandungnya sendiri. Sehingga pada suatu malam saat mereka hanyut dalam
kemaksiatan dan kala itu hujan yang deras sudah berangsur reda terdengar suara
yang keras seperti sebuah benda yang jatuh dari langit. Pada pagi harinya masyarakat
di sekitar Dusun Lagetang pun penasaaran dengan suara yang amat keras itu lalu mereka
mencari tau dan kemudian menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah
menjadi dua bagian ,belahannya itu menimpa Dusun Lagetang sehingga membentuk
menyerupai seperti bukit. Dusun yang tadinya berupa lembah tersebut berubah
hancur rata dengan tanah dan seluruh penduduknya mati. Padahal logikannya jika
Gunung Pengamun-amun longsor maka longsornya akan mengenai Desa yang terdapat
di bawahnya,tetapi ini tidak. Malah seolah belahannya tersebut sengaja
melompati Sungai dan Jurang yang memisahkan Desa Lagetang dan Gunung
Pengamun-amun.
3 Puisi Tentang Perjalanan Hidup
PERPISAHAN
Sejak pikiran mulai merasakan
Betapa indahnya semua pengalaman kita
Sejak semua itu kita yang melakukan
Beberapa waktu telah terlewati oleh kegiatan
Dimana semua itu tak akan pernah hilang
Ku kan selalu mengingat kenangan kalian
Dan tak akan pernah hati ini menjadi terbuang
Janganlah panik seperti melesetkan hari hari
Kita pasti berjumpa di waktu yang menentukan
Semua itu tidak akan pernah berlalu lagi
Meskipun terhalau oleh waktu yang memakan
PENGALAMAN INDAH DI SEKOLAH
besok adalah hari terakhir ulangan
hari libur akan datang lagi
ini semua akan aku jadikan kenangan
banyak teman yang baik maupun buruk
kadang itu benci atau murka
1 hal yang tidak bisa kita petik
menyempurnakan teman menjadi sebaliknya
ilmu yang kita dapat semakin menimpa kita
karena guru adalah salah satu pahlawan kita
sebaiknya kita hargai kemampuan guru kita
karena masa depan ada di ilmu kita
HIDUP ITU PENUH DENGAN COBAAN
sampai2 aku tak bisa membayangkannya.
walaupun hidupku ingin sendiri.
tetapi aku ingin tetap mempertahankannya.
diamana mana terdapat kehidupan tersendiri.
tetapi suatu saat itu takkan terulangi lagi.
walaupun suatu hari terdapat aneka tersendiri.
memang itulah hidup terberaturan atau disebut berimajinasi.
suatu hidup penuh dengan cobaan.
derita apapun akan tetap berubah.
walaupun cita2 datang di masa depan.
tetapi dengan adanya berusaha pasti kita bisa berubah
Referensi : http://puisiranggakurnia.blogspot.co.id/
"THIWUL" Makanan Unik Khas Masyarakat Gunungkidul Yogyakarta
Referensi : https://gudeg.net/direktori/1870/tiwul.html
Tiwul salah satu
makanan khas yang berasal dari Gunung kidul, Yogyakarta merupakan salah satu
makanan berbahan dasar singkong atau ketela pohon. Masyarakat Gunung Kidul
jaman dahulu sering memanfaatkan makan ini sebagai makanan pokok pengganti
nasi. Meskipun dalam perkembangannya saat ini nasi telah menjadi makanan pokok,
namun Tiwul tetap dikenal sebagai makanan khas yang cukup bersejarah. Makanan
ini dipercaya juga pernah digunakan sebagai makanan pokok ketika masa
penjajahan Jepang.
Tiwul dibuat
dari gaplek
yang merupakan hasil olahan singkong yang telah dikupas dan dikeringkan. Dari
pengeringan tersebut setelah diolah akan diperoleh tepung singkong yang
nantinya akan diolah menjadi Tiwul. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya
lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan
pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan,
dan lain sebagainya.
Karena tidak
banyak lagi masyarakat yang memanfaatkan makanan ini sebagai makanan pokok,
Tiwul kemudian dikreasikan dengan berbagai bentuk dan dikembangkan sebagai makanan yang modern. Hal ini tentu saja
membuat keberadaan Tiwul tidak dilupakan justru semakin dikenal sebagai salah
satu kekayaan khas di Yogyakarta khususnya di Gunung kidul. Oleh karena itu,
jika Anda ingin berwisata melalui daerah Gunung Kidul, sempatkanlah waktu untuk
membeli dan menikmati makanan ini. Harga untuk membeli tiwul ini relatif sangat
murah karena cukup mengeluarkan uang antara Rp.5000,00 -
Rp.15.000,00 Anda
sudah dapat menikmati makanan dengan rasa yang manis gurih ini.
Pengertian Prosa, Jenis & Contohnya
Prosa adalah suatu karya
sastra yang berbentuk tulisan dan bersifat bebas, yang dimaksud dengan
bersifat bebas adalah karya sastra ini tidak terikat oleh aturan-aturan
penulisan karya sastra lainnya seperti rima, irama, diksi, dan
lain-lain.
Jenis-Jenis Prosa
Berdasarkan jenisnya, prosa dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu prosa lama dan prosa baru. Di bawah ini adalah macam-macam bentuk dan contoh prosa lama dan prosa baru:
1. Prosa lama
Prosa lama adalah sebuah karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari kebudayaan barat. Pada awalnya prosa lama berbentuk lisan karena belum ditemukannya alat tulis menulis. Namun, kini prosa lama juga dapat ditemukan dalam bentuk tulisan. Adapun bentuk-bentuk prosa lama, diantaranya adalah:
1. Hikayat
Hikayat merupakan cerita yang berisi tentang kehidupan para dewi, dewa, pangeran, raja, dan lain-lain. Cerita-cerita yang ada di dalam hikayat bersifat fiksi dan tidak masuk akal. Contohnya adalah Hikayat Hang Jebat, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Raja Bijak, dan lain-lain.
2. Sejarah (Tambo)
Sejarah adalah salah satu bentuk prosa lama yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa tertentu. Sejarah sastra lama berbeda dengan sejarah yang ditulis pada masa kini. Kebanyakana sastra lama sejarah disampaikan dengan menambahkan penyedap atau bumbu-bumbu cerita sehingga terdengar lebih menarik. Sedangkan sejarah yang ditulis pada masa kini sama persis dengan kejadian sebenarnya dan dapat dibuktikan dengan fakta. Contoh bentuk prosa lama sejarah adalah Sejarah Melayu yang ditulis oleh Tun Sri Lanang pada tahun 1612.
3. Kisah
Kisah adalah prosa lama yang berbentuk cerita-cerita pendek. Biasanya kisah bercerita tantang sebuah perjalanan, pengalaman atau petualangan orang-orang dahulu. Salah satu ontoh prosa lama kisah adalah Kisah Raja Abdullah menuju Kota Mekkah.
4. Dongeng
Salah satu bentuk prosa lama yang sangat popular adalah dongeng. Bentuk prosa lama ini bercerita tentang khayalan-khayalan masyrakat pada zaman dahulu. Ragam dan bentuk dongeng pun berbeda-beda sesuai dengan isinya. Bentuk-bentuk dongeng antara lain:
a. Myth (Mitos)
Mite atau Myth adalah dongeng yang bercerita tentang kepercayan terhadap alam-alam ghaib atau benda-benda magis. Contoh: Ratu Pantai Selatan, Dongeng tentang Batu Menangis, Dongeng asal-usul kuntilanak, dan lain-lain.
b. Legenda
Bentuk dongen ini bercerita tentang riwayat atau asal-usul terjadinya sesuatu. Contohnya adalah Legenda Tangkuban Perahu, Legenda Pulau Jawa, dan lain-lain.
c. Fabel
Fabel bercerita tentang kisah-kisah yang menokohkan binatang. Cerita fable ini biasa digunakan oleh orang-orang tua sebagai media untuk mendidik anak-anak mereka. Contoh: Si Kancil dan Buaya, Si Kancil yang Cerdik, dan lain-lain.
d. Sage
Bentuk dongeng ini menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan, keberanian, maupun kisah kesaktian seseorang. Contohnya adalah Ciung Winara, Patih Gadjah Mada, Calon Arang, dan lain-lain.
e. Jenaka atau Pandir
Dongeng jenaka atau pandir menceritakan tentang orang-orang bodoh yang bernasib sial. Dongeng ini biasanya bersifat humor dan menghibur pendengarnya dengan kelucuan-kelucuan yang ada di dalam cerita. Contoh: Dongeng Abunawas, Dongeng Si Pandir, dan lain-lain.
2. Prosa Baru
Prosa baru adalah bentuk prosa yang muncul setelah mendapat pengaruh dari budaya-budaya asing atau barat. Bentuk prosa ini muncul setelah prosa lama dianggap telah kuno. Bentuk-bentuk prosa baru antara lain:
1. Roman
Roman adalah prosa baru yang menceritakan tentang kehidupan seseorang, dimulai dari lahir hingga kematiannya. Prosa ini menyajikan suatu aspek kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh dan memiliki banyak alur yang bercabang-cabang. Salah satu contoh roman adalah Layar Terkembang karya Sultan Takdir Ali Syahbana.
2. Novel
Bentuk prosa baru ini menceritakan sebuah cerita atau kisah yang panjang. Novel menceritakan sebagian kehidupan seseorang sebagai tokoh utama yang mengandung beberapa konflik. Konfilk-konflik tersebutlah yang merubah kehidupan pelaku utamanya. Contohnya adalah Novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Ave Maria, dan lain-lain.
3. Cerpen
Cerpen adalah salah satu bentuk prosa baru yang cukup popular. Prosa baru ini menceritakan sebuah pengalaman atau sebgaian kecil kisah pelaku utamanya. Yang membedakan cerpen dengan novel adalah konflik pada cerpen hanya satu dan tidak meyebabkan perubahan sikap pada tokoh utama, sedangkan pada novel banyak ditemukan konflik. Contoh cerpen antara lain Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta, dan lain-lain.
4. Riwayat
Riwayat menceritakan sebuah kisah yang berisi tentang pengalaman-pengalam hidup seseorang yang diangkat dari kisah nyata orang tersebut dari lahir hingga meninggal. Biasanya yang dieritakan adalah tokoh-tokoh terkenal dan menginspirasi orang banyak. Ada beberapa jenis riwayat yaitu biografi dan otobiografi. Biografi merupakan kisah tokoh yang ditulis oleh orang lain. Sedangkan otobiografi kisah yang ditulis oleh orang yang bersangkutan.
5. Kritik
Kritik berbentuk sebuah uraian-uraian pertimbangan seseorang terhadap suatu hasil kerja atau karya orang lain. Kritik berisi alasan-alasan tertentu dan bersifat objektif atau menghakimi.
6. Resensi
Resensi adalah prosa baru yang isinya membicarakan atau mengulas suatu karya baik yang berbentuk buku, film, lagu maupun jenis karya seni lainnya. Resensi bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap suatu karya baik dari segi tema, tokoh, alur dan unsur-unsur lainnya agar menjadi pertimbangan bagi pembaca untuk menikmati atau tidak karya tersebut.
7. Esai
Bentuk prosa baru yang terakhir adalah Esai. Prosa ini berisi tulisan-tulisan yang mengandung pendapat-pendapat pribadi penulisnya terhadap sesuatu yang sedang menjadi bahan pembicaraan hangat di masyarakat.
Referensi : http://www.kelasindonesia.com/2015/04/pengertian-dan-jenis-jenis-prosa-di-indonesia-lengkap.html
Biografi Para Ahli Kebudayaan Dalam & Luar Negeri
Nama : Adidya Prapbandaru
NPM/Kelas : 50415139/1IA04
Biografi Para Ahli Kebudayaan
dalam Negeri (Indonesia)
Biografi
- Koentjaraningrat
Ayahnya R.M.
Emawan Brotokoesomo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Ibunya,
R.A. Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasaBelanda oleh keluarga Paku Alam. Walaupun
anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya
menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil. Koentjaraningrat
tertarik pada bidang antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian
lapangan diSumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih
gelar M.A. bidang Antropologi dari Yale
University, AS, 1956 dan doktor antropologi dari Universitas
Indonesia, 1958. Pak Koen, demikian ia disapa, merintis berdirinya sebelas
jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir
berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa
karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia
banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957
hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel. Melalui
tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa
sendiri. Buah-buah p==ikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan
penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh
para ilmuwan Indonesia maupun asing. Salah satu bukunya yang menjadi pusat
pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi
Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan
kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia
menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi. Berbagai penghargaan telah
dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi.
Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian
Cultural Price pada tahun 1995. Pak Koen
juga mendapat penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968
dan 1981).
Pendapat
Menurut Koentjaraningrat, bahwa pengertian kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengn belajar.
Selo Soemardjan dan Soeleman
Soemardi
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah
pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini
FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia dikenal sangat
disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan
banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas
Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan
semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial
yang tinggi dan sulit untuk diam. Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi
memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang
memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo.
Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya,
Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada
Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah
berhenti berpikir dan bertindak. Ia seorang dari sedikit orang yang sangat
pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia
bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat
ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan
sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang
tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. Selama hidupnya, Selo pernah berkarier
sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat
Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara
merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden
RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan
Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar
doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas
Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus
1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada
tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI
ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI
dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan
di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng
Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan
Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat
pendidikan Belanda. Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo.
Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai
daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali
kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak
sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas. Pengalamannya
sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif
pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo
dengan peneliti lain. Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu
tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari
kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat
untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai
dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta
menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah
untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga
oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa. Meski lebih dikenal sebagai guru
besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di
lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka
melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada
istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi
mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari
kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa. Dalam tulisan Lopa,
Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah
dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan,
karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya. Menurut putra
sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan
tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak
sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya. Sebagai ilmuwan, karya
Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan
Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul
Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB)
IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak
peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam
bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendapat : Kebudayaan berarti semua hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
- Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki
Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal
di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun selanjutnya disingkat
sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakankemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia
adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya
sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan
Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah namakapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah
tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan
nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959).
Masa Muda
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari
Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai
tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain,Sediotomo, Midden
Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivis Penggerak
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam
organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif
di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi
olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi
multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya
pula.
Als ik een nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda
berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang
Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De
Exprespimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas
sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita
keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan
tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang
berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis,
mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD
dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka
bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai
"Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi
para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di
sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar
ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan
dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera
kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini
kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia
dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya
kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu
dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani. ("di
depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian terhadap Indonesia
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada.
Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November
1959). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Pendapat
Menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa pengertian kebudayaan adalah
buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat,
yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertip
dan damai.
·
Drs. Mohammad Hatta
Biografi
Mohammad Hatta. Siapa yang tidak mengenal salah satu pahlawan atau tokoh
Proklamator Indonesia ini bersamaPresiden Soekarno. Sangat bersahaja dan sederhana hingga akhir hayatnya ini
itulah sosok Mohammad Hatta yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di
lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika
Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota
Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul
perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya
arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran
anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya
mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin
selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli
1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan
kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama
Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat
dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader
politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu
ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap
Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang
berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada
tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan"
(10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap
Pemimpin" (10 Desember 1933). Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno
dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada
Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional
Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah
tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan
Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan
Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara
Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul
“Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari
1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua).
Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja
untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan
dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan
makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta
menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di
Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak
perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan diLapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya. Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Pendapat
Menurutnya
pengertian kebudayaan adalah ciptaan hidu pdari suatu bangsa.
·
R. Seokmono
Drs. R. Soekmono (lahir di Ketanggungan, kabupaten
Brebes, 14 Juli 1922 – meninggal
di Jakarta, 9 Juli 1997 pada umur 74 tahun) adalah salah satu arkeolog dari Indonesiadan pernah
memimpin proyek pemugaran Candi
Borobudur pada tahun
1971-1983. Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono termasuk dalam arkeolog
pertama bangsa Indonesia yang berhasil menyelesaikan gelar sarjananya pada
tahun 1953 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Soek, biasa
dipanggil oleh rekan, bawahan, dan mahasiswanya. Bersama-sama dengan Satyawati
Suleiman, Soejono, Boechari, Uka Tjandrasasmita, Basoeki dan arkeolog Belanda
pada tahun 1954 melakukan ekspedisi ke Sumatera. Dari ekspedisinya itu, ia
berpendapat bahwa pada masa Sriwijaya garis pantai Sumatera bagian timur terletak
di daerah pedalaman. Di Jambi terdapat sebuah teluk, sedangkan kota Palembang terletak di ujung sebuah semenanjung.
Pendapatnya ini terus dipertahankan hingga akhir hayatnya. Soekmono merupakan
orang Indonesia pertama yang lulus sebagai doktorandus dalam bidang studi arkeologi. Setelah
lulus tahun 1953, pada tahun itu juga ia diangkat sebagai Kepala Dinas
Purbakala Republik Indonesia, suatu kedudukan yang sebelum itu dijabat oleh
orang-orang Belanda. Jabatan ini
terus dipangkunya hingga tahun 1973. Pada tahun 1970 ia dipercaya pemerintah
untuk memimpin Proyek Pemugaran Candi Borobudur, sebuah proyek besar yang
didanai oleh pemerintah RI dan UNESCO. Ditengah-tengah
kesibukannya memimpin suatu proyek besar, pada tahun 1974 ia sempat
menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Candi, Fungsi dan
Pengertiannya" di Universitas Indonesia. Pada bidang studi inilah keahlian
dan pengalamannya dapat diuji, terutama pengetahuannya mengenai candi-candi di
Indonesia. Pengalamannya pada Proyek Pemugaran Candi Borobudur menjadikannya
seorang ahli mengenai bangunan candi yang sedang ditanganinya. Di dunia
internasional pengetahuannya mengenai konservasi bangunan monumental banyak
dipakai. Beberapa jabatan yang berkaitan dengan masalah-masalah konservasi
banyak disandangnya. Kesibukannya sebagai “praktisi arkeologi” tidak
menjadikannya lupa akan dunia akademis. Pengetahuannya yang luas mengenai
Sejarah Kebudayaan Indonesia, diamalkannya di ruang kuliah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Perguruan Tinggi Pendidikan
Guru di Batusangkar sebagai Dosen Luar Biasa (1953-1978). Pada tahun
1978 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Kemudian pada tahun 1986-1987 sebagai Guru Besar tamu di
Rijksuniversiteit te Leiden, Belanda.
Pendapat
Pengertian kebudayaan menurut R. Soekmono adalah segala hasil usaha
manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam
penghidupan.
·
Parsudi Suparlan
Prof. Dr. Parsudi
Suparlan (lahir di Jakarta, 3 April 1938 – meninggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 22 November 2007 pada umur 69 tahun) adalah seorangantropolog Indonesia. Ia memiliki
kepakaran dalam bidang antropologi perkotaan, kemiskinan perkotaan, dan multikulturalisme.
Pendidikan
S1 Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia diselesaikannya pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan belajar di Universitas Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian menyelesaikan MA pada
tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976.
Karier
Pada tahun 1961, diangkat sebagai asisten dosen dari Prof.
Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan sebagai dosen
tetap sejak tahun 1963. Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga wafatnya pada
program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Program S2 dan S3
Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI
dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Pada tahun 1999,
Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya
sejak saat itu.
Pendapat
sebagai
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi
landasan bagi tingkah lakunya.
Biografi Para
Ahli Kebudayaan Luar Negeri
- Kluckhohn dan Kelly
Clyde Kluckhohn (/ˈklÊŒkhoÊŠn/; January 11, 1905, Le Mars, Iowa – July 28, 1960, near Santa Fe, New Mexico), was an Americananthropologist and social theorist, best known for his long-term ethnographic work
among the Navajo and his contributions to the development
of theory of culture within American anthropology.
Early Life and education
Kluckhohn matriculated at Princeton University,
but was forced by ill health to take a break from study and went to convalesce
on a ranch in New Mexico owned by his mother's
cousin's husband, Evon Z. Vogt. During this period he
first came into contact with neighboring Navajo and began a lifelong love of
their language and culture. He wrote two popular books based on his experiences
in Navajo country, To the Foot
of the Rainbow (1927) and Beyond the Rainbow (1933).
He resumed study at the University of
Wisconsin–Madison and received his AB in
Greek 1928. He then studied classics at Corpus Christi College,
Oxford as a Rhodes Scholar in 1928-1930[1] For the following two
years, he studied anthropology at the University of Vienna and was exposed to
psychoanalysis.[1] After teaching at the University of New Mexico from 1932–34, he
continued graduate work in anthropology at Harvard University where he received his
Ph.D in 1936. He remained at Harvard as a professor in Social Anthropology and
later also Social Relations for the rest of his life.[2][3]
Major Works
In 1949, Kluckhohn began
to work among five adjacent communities in the Southwest: Zuni, Navajo, Mormon (LDS), Spanish-American (Mexican-American), and Texas Homesteaders[4] A key methodological
approach that he developed together with his wife Florence Rockwood Kluckhohn
and colleagues Evon Z. Vogt and Ethel M. Albert, among others, was the Values
Orientation Theory. They believed that cross-cultural understanding and
communication could be facilitated by analyzing a given culture's orientation
to five key aspects of human life: Human Nature (people seen as intrinsically
good, evil, or mixed); Man-Nature Relationship (the view that humans should be
subordinate to nature, dominant over nature, or live in harmony with nature);
Time (primary value placed on past/tradition, present/enjoyment, or
future/posterity/delayed gratification); Activity (being, becoming/inner
development, or doing/striving/industriousness); and Social Relations
(hierarchical, collateral/collective-egalitarian, or individualistic). The
Values Orientation Method was developed furthest by Florence Kluckhohn and her
colleagues and students in later years.[5][6]
Kluckhohn received many
honors throughout his career. In 1947 he served as president of the American Anthropological
Association and became first director of the Russian Research Center at
Harvard. In the same year his book Mirror
for Man won the McGraw Hill
award for best popular writing on science.
Kluckhohn initially
believed in the biological equality of races but later reversed his position.
Kluckhohn wrote in 1959 that "in the light of accumulating information as
to significantly varying incidence of mapped genes among different peoples, it
seems unwise to assume flatly that ‘man’s innate capacity does not vary from
one population to another’.... On the premise that specific capacities are
influenced by the properties of each gene pool, it seems very likely indeed
that populations differ quantitatively in their potentialities for particular
kinds of achievement.”[7]
Clyde Kluckhohn died of a
heart attack in a cabin on the Upper Pecos River near Santa Fe, New
Mexico. He was survived by his wife, Dr. Florence Rockwood Kluckhohn, who also
taught anthropology at Harvard's Department of Social Relations. Clyde
Kluckhohn was also survived by his son, Richard Kluckhohn. Most of his papers
are held at Harvard University, but some early manuscripts are kept at the University of Iowa.
Pendapat
Pengertian kebudayaan menurut Kluckhohn dan Kelly, adalah semua
rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang tersurat maupun yang
tersirat, rasional, irasional yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang
potensial untuk perilaku manusia.
- Nostrand
Francis D. K. "Frank" Ching (born 1943) is an architecture and
design graphics writer. He is a currently Professor Emeritus at theUniversity of Washington. Ching was born and
raised in Hawaii. He received his B.Arch. from the University of Notre Dame in 1966. After several
years of practice, in 1972 he joined the faculty at Ohio University to teach drawing. To
support his lectures in architectural graphics, Ching hand-drew and
hand-lettered his lecture notes. These notes were eventually shown to the
publisher, Van Nostrand Reinhold, and were published, in 1974, in an edited
version asArchitectural Graphics, (a book now in its fourth edition).
Ching went on to produce twelve other books, including Building Construction Illustrated and Architecture:
Form, Space & Order. Ching's printing has been adopted by Adobe in its Tekton font family. Ching was,
for a time, an architecture faculty member at the University of
Wisconsin–Milwaukee. By the late 1980s he had begun teaching at the University of Washington in the Department of
Architecture. He became a full professor in 1991. For the next fifteen years,
he routinely taught introductory architecture studios and directed beginning
graphics classes. In 2006 Ching retired, though he continued to teach on a
part-time basis until 2011. He now holds the rank of Professor Emeritus. He
taught as a visiting faculty member at Tokyo Institute of
Technology in 1990 and at the Chinese University of
Hong Kong in 1993. Ching has received the Honorary Degree of Doctor of
Design from Nottingham Trent
University; the S. Y. Chung Visiting Fellowship, New Asia College, Chinese University of
Hong Kong; and a Citation for Excellence in International
Architecture Book Publishing. Ching received the Special Jury Commendation in
the 2007 Cooper-Hewitt National
Design Awards, and an AIA 2007 Institute Honor
Award for Collaborative Achievement. Since 2012, Ching has been actively
posting on his blog Seeing.Thinking.Drawing.
Most of his posts feature personal sketches of various locales around
Washington state.
Pendapat
Menurut
Nostrand, kebudayaan adalah sebagai sikap dan kepercayaan, cara berfikir,
berperilaku, dan mengingat bersama oleh anggota komunitas tersebut.
- Rober Lowie
Robert Harry Lowie (born Robert Heinrich Löwe; June 12, 1883 – September 21, 1957) was an Austrian-born Americananthropologist. An expert on North American
Indians, he was instrumental in the development of
modern anthropology.
Biography
Lowie was born and spent
the first ten years of his life in Vienna, Austria-Hungary, but came to the United States in 1893. He studied at
the College of the City of
New York, where in 1896 he met and became friends with Paul Radin and from where he
acquired his BA in Classical Philology in
1901. After a short stint as a teacher, he began studying chemistry at Columbia University, but soon switched to
anthropology under the tutelage of Franz Boas, Livingston Farrand and
Clark Wissler. Influenced by Clark Wissler, Lowie began his first
fieldwork on the Lemhi Reservation in Idaho in the Northern Shoshone
in 1906. He graduated (Ph.D.) in 1908. In 1909, he became assistant curator to
Clark Wissler at the American Museum of
Natural History, New York. During his time there, Lowie became a
specialist in American Indians, being active in field research, particularly in
several excursions to the Great Plains. This work led in
particular to his identification with the Crow Indians. In 1917, he became
assistant professor at the University of California,
Berkeley. From 1925 until his retirement in 1950, he was professor
of anthropology at Berkeley, where, along with Alfred Louis Kroeber, he
was a central figure in anthropological scholarship.
Lowie undertook several
expeditions to the Great Plains, where he conducted ethnographic fieldwork at the Absarokee (Crow, 1907, 1910–1916,
1931), Arikaree, Hidatsa,Mandan and Shoshone (1906, 1912–1916).
Shorter research expeditions led him to the southwestern United States, the Great Basin and to South America where he was inspired by Curt Nimuendaju. The focus of some of Lowie's work was salvage ethnography, the rapid
collection of data from cultures close to extinction.
Ruth Benedict and Robert Lowie were
both commissioned during World War II to write a piece about an
enemy during wartime by the United States Office of
War Information. Unlike Benedict's, Chrysanthemum
and the Sword in which she
describes the culture of Japan, without ever having set foot in Japan, Lowie
could at least draw on his recollections from the German-speaking world of his
childhood. In his book, The
German People, Lowie took a cautious approach and stressed his ignorance of
what was going on in his country of origin at this time. Once the war had
ended, Lowie made several short trips to Germany.
Together with Alfred Kroeber, Lowie was one of the
first generation of students of Franz Boas. His theoretical orientation was
within the Boasian mainstream of
anthropological thought, emphasizing cultural relativism and opposed to the cultural evolutionism of the Victorian era. Like many prominent
anthropologists at the time, including Boas, his scholarship originated in the
school of German idealism and romanticism espoused by earlier
thinkers such as Kant, Georg Hegel and Johann Gottfried Herder.
Lowie, somewhat stronger than his mentor Boas, emphasized historical components
and the element of variability in his works. For him, cultures were not finished
constructs, but always changing and he stressed the idea that cultures could
interact.
Lowie influenced the
discipline of social anthropology through his use of a
system to distinguish kinship relationships: he
identified four main systems, which differed based on the names of the
relatives of the first ascending generation, i.e. the parent generation. His Classification Scheme was slightly modified by George P. Murdock by dividing one of the
Lowie's four systems into a further three types.
·
Sir Edwards B Tylor
Sir Edward Burnett Tylor (2 Oktober 1832—2 Januari 1917), adalah seorang antropolog yang berasal dari Inggris.
Tylor dikenal melalui
jasanya dalam penelitian evolusi
kebudayaan. Dalam karyanya Primitive
culture dan Anthropology, ia mendefinisikan
konteks penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari dari teori evolusi Charles Darwin. Dia percaya bahwa ada
sebuah basis fungsional dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang ia anggap
bersifat universal.
Ia juga memperkenalkan
kembali istilah animisme (kepercayaan terhadap
jiwa dan roh-roh nenek moyang) yang ia anggap sebagai sebuah fase awal dalam
perkembangan agama.
Pendapat : suatu keseluruhan kompleks yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta
kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Pendapat
- William Haviland
William Haviland (1718 – 16 September 1784) was an Irish-born general
in the British Army. He is best known for his service in North America during the Seven Years' War.
Life
William Haviland was born
in Ireland in 1718. He entered
military service as an ensign in the 43rd Foot in 1739, and first saw
action during the War of Jenkins' Ear in a failed expedition against
Cartagena (in present-day Colombia). He then served during
the Jacobite Rising of 1745,
and rose to the rank of lieutenant colonel by 1752.
In 1757 he was sent to North America, where he was first in Lord Loudoun's aborted expedition to Louisbourg. That winter, as a colonel he was placed in command of Fort Edward on the upper Hudson River, the forward outpost on
the frontier between British New York and French Canada. He participated in James Abercrombie's disastrous attack on Fort Carillon in 1758, leading one of
the attacking columns. In 1759 he served under Jeffery Amherst in his capture of Carillon, and was rewarded with promotion to brigadier general and
command of the 1760 expedition from Ticonderoga to Montreal, upon which he joined Amherst and Murray there at the capitulation
of Canada in September 1760.[1]
He was then sent by
Amherst, who had by then become Governor-General of
British North America,[2] to the West Indies, where he participated
in the reduction
of Martinique andCuba in 1762, which garnered
him a promotion to major general.
He was promoted to
lieutenant general in 1774, and served in the defense of Great Britain. He was promoted a full
general in 1783, and died the following year. He was twice married, with a son
and daughter by his second wife.
During the Seven Years'
War Haviland invented a kind of slide rule "that permitted an officer to
quickly determine the number of men to be detached from each company of a
regiment, or from a regiment in a larger force, if a draft was made against it,
consisting of two circular wheels, one within the other, made of ivory, about
three inches across, with useful information on regimental organization etched
into the back, which was possibly the first mechanical administrative aide ever
invented for officers serving in the field.
Pendapat
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang
dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para
anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima
ole semua masyarakat.
·
Francis Merill
Joseph Francis Merrill (August 24, 1868 –
February 3, 1952) was a member of the Quorum of the Twelve
Apostles of The
Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (LDS Church) from 1931
until his death. Merrill was a key figure in the development of the Church Educational System in the early twentieth
century. He served as the sixth Commissioner of Church
Education from 1928 to 1933. Prior to his service as commissioner, he
played a significant role in the creation of the "released time" LDS
Church seminary system. His tenure as
commissioner saw the creation of theInstitutes of Religion and the transfer of
nearly all the remaining church schools to control of the states they resided
in. He also faced a crisis in 1930 and 1931 which threatened to end the
released time seminary, but the LDS Church education system survived the Great Depression under his leadership . In
1931, while still serving as commissioner, Merill was called to serve in the
Quorum of the Twelve Apostles.
Early Life
Merrill was born in Richmond, Utah Territory. The son of LDS Church apostle Marriner W. Merrill, Merrill was among the
first Latter-day Saints from Utah to travel to the eastern United States to
seek higher education. He studied at the University of Deseret,
the University of Michigan,
and Johns Hopkins University; he was the first native Utahn to receive a Ph.D.[1] While at the University
of Michigan, Merrill was the president of the Ann Arbor Branch of the LDS Church. Upon
his return to Utah, Merrill became the director of the School of Mines at the University of Utah. In 1895, he became the
first principal of the University of Utah
College of Engineering. (The Merrill
Engineering building on the University of Utah campus is named in his honor.)
In 1911, Merrill was called to serve in the presidency of the Granite Utah Stake of the LDS Church.
In 1898, Merrill married
Annie Laura Hyde, the daughter of Alonzo Hyde and Annie Taylor Hyde. Merrill and his wife
would become the parents of six children.
Church Education Role
Upon hearing his wife
relate stories from the Book of Mormon she had learned in a
class taught by James E. Talmage, Merrill began to seek
means for students attending public high schools to have some form of weekday
religious education. Influenced by Christian seminaries he had seen at the University of Chicago,
Merrill worked with the Granite School Board and the Church General
Board of Education to secure the necessary funding and legal rights to open an
LDS seminary next to Granite High School. In his search for a proper teacher to instruct the youth,
Merrill wrote. May I say that it is the desire of the Presidency of the Stake
to find a young man who is properly qualified to do the work in the most
satisfactory manner. By young, we do not necessarily mean a teacher who is
young in years, but a man who can command their respect and admiration and
exercise great influence over them. We want a man who can enjoy student sports
and activities as well as one who is a good teacher. We want a man who is a
thorough student, one who will not teach in a perfunctory way, but who will
enliven his instruction with a strong winning personality and give evidence of
thorough understanding of a scholarship in the things he teaches. It is desired
that the school be thoroughly successful and a teacher is wanted who is a
leader and who will be universally regarded as the inferior to no teacher in
the high school. Merrill found the right man in Thomas J. Yates, a young engineer in the
Granite Stake. After the building completed and the curriculum developed, the
first released-time LDS seminary opened its doors in 1912. In 1928, Merrill
left his position at the University of Utah to serve as the head of the LDS
Church school system. Upon Merrill’s acceptance, the name of the position was
officially changed from “Superintendent of Church Schools” to "Church
Commissioner of Education". As commissioner, Merrill faced several unique
challenges. Merrill took over the development of the first institute program at Moscow, Idaho. Working with J. Wyley Sessions, Merrill helped develop
the basic goals of the institute program, which he felt should be designed to
help students reconcile the secular learning of university with the spiritual
truths of the church. He wrote: In this collegiate seminary work we are, of
course, starting on a new thing in the Church. But if we keep the objective
clearly in mind it may be helpful. And may I say that this objective, as I see
it, is to enable our young people attending the colleges to make the necessary
adjustments between the things they have been taught in the Church and the
things they are learning in the university, to enable them to become firmly
settled in their faith as members of the Church. The big question, then, is
what means and methods can be employed to help them to make these
reconciliations and adjustments. The primary purpose, therefore, is not to
teach them theology. It is not to prepare them for seminary teachers or
preachers of the Gospel. We should, therefore, continually hold before our
minds that we want to hold them in the Church, make them active, intelligent,
sincere, Latter-day Saints. We want to keep them from growing cold in the faith
and indifferent to their obligations as Church members. We want to help them to
see that it is perfectly reasonable and logical to be really sincere Latter-day
Saints.
With the successful
launch of institute, Merrill's next task was to facilitate the withdrawal of
the LDS Church from the field of secular education in the United States. Most
of the church schools had already been closed in the early 1920s, but Brigham Young University (BYU) and several junior
colleges remained under church control. In a meeting of the Church General
Board of Education in February 1929, Merrill was asked to begin the process of
closing all of the remaining schools. Despite the onset of the Great
Depression, Merrill was able to successfully negotiate with the Utah State Legislature to ensure the successful
transfer of Weber, Snow and Dixie Colleges from the LDS Church to
Utah. In Arizona, Gila College was also transferred to the state and was later
renamed Eastern Arizona College.
When the Idaho legislature rejected an offer to take control of Ricks College, Merrill worked to
ensure the its survival as a private school, despite seriously diminished
funding. Merrill also worked with other church leaders to keep BYU under church
control. He felt that maintaining one university was vital for the future
training of seminary teachers. He saw the value in maintaining a corps of
trained scholars who were well versed in the teachings of the church. In
addition, he felt that a church university would be a light to the world,
functioning as a showcase for the academic achievements of church members.
During his service, Merrill encouraged Sidney B. Sperry and Russel B. Swensen to seek higher degrees at
the University of Chicago.
Upon their return, Merrill sent these men to BYU, where they formed the
university's first department of religion. In 1930, state high school inspector
I. L. Williamson issued a highly critical report on the relationships between
LDS seminaries and public high schools in Utah. Influenced by this report, the
Utah State Board of Education moved to suspend released time privileges
statewide. Merrill worked to ensure the continuation of released time, speaking
before the State Board to in an attempt to convince them of the benefits and
legality of seminary. When the Board voted on the issue in 1931, both released
time and credit for Bible study were retained. With most of the LDS Church-run
schools eliminated by this point, Merrill's action ensured the survival of what
would become the dominant form of religious education for the church in Utah. Merrill
also dealt with the effects of the Great Depression, cutting costs in
education. Rather than laying off employees, Merrill asked all members of
church education to take pay cuts. During his service, church spending on education
was cut nearly in half. Despite the hard times he saw during his tenure as
commissioner, Merrill took great joy in his work. Upon his call as commissioner
he said: Again may I say that I believe there is no kind of education in the
world that is so fine and so elevating and so good and so important as
religious education. And I believe that nowhere in the world is there a system
of religious education that is equal in its quality, in its thoroughness and in
its comprehensiveness to the system of education that is being undertaken in
this Church. The time will come, I verily believe, and before very many years,
when week-day religious education will be offered to every high school boy and
girl, to every college and university boy and girl in this Church.
Mission President
When Merrill left
Utah in 1933 to serve as president of the European Mission of the church, he passed his fiscal philosophies on to the missionaries
serving under him. One of them, future apostle and church president Gordon B. Hinckley, cited Merrill's influence as a major factor in his own financial
thinking. J. Wyley Sessions called Merrill the "most economical,
conservative General Authority of this dispensation.
Later Life
Merrill served as an
apostle until his death in 1952 in Salt Lake City from coronary thrombosis. Upon his death, fellow
apostle Joseph Fielding Smith offered the following tribute: "I marveled at his energy.
Apparently he never got tired; he loved the truth. He loved the truth of
science, but he loved more the truths of the gospel of Jesus Christ ... He had
a strong will, was pronounced in his opinions, but he was always submissive to
the majority decisions of his brethren. Merrill
was buried at Salt Lake City Cemetery.
Pendapat
Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social.
semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota
suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
·
Ralph
Linton
Ralph Linton (27 February 1893 – 24 December 1953) was
a respected American anthropologist of the mid-20th century, particularly
remembered for his texts The
Study of Man (1936) and The Tree of Culture (1955). One of Linton's major
contributions to anthropology was defining a distinction between status and
role.
Early life and Education
Linton was born into a
family of Quaker restaurant entrepreneurs
in Philadelphia in 1893 and entered Swarthmore College in 1911. He was an
indifferent student and resisted his father's pressures to prepare himself for
the life of a professional. He grew interested in archaeology after
participating in a field school in the southwest and took a year off of his
studies to participate in another archaeological excavation at Quiriguá in Guatemala. Having found a strong
focus he graduated Phi Beta Kappa in 1915.[1]
Although Linton became a
prominent anthropologist, his graduate education took place largely at the
periphery of the discipline. He attended the University of
Pennsylvania, where he earned his master's degree studying with Frank Speck while undertaking
additional archaeological field work in New Jersey and New Mexico.[1]
He was admitted to a
Ph.D. program at Columbia University thereafter, but did not
become close to Franz Boas, the doyen of
anthropology in that era. When America entered World War I, Linton enlisted and
served in France during 1917-1919 with Battery D,149th Field Artillery,
42nd (Rainbow) Division. Linton served as a
corporal and saw battle at the trenches, experiencing first hand a German gas
attack. Linton's military experience would be a major influence on his
subsequent work. One of his first published articles was "Totemism and
the A.E.F.” (Published in American Anthropologist vol. 26:294-300)",
in which he argued that the way in which military units often identified with
their symbols could be considered a kind of totemism.[2]
His military fervor
probably did not do anything to improve his relationship with the pacifist
Franz Boas, who abhorred all displays ofnationalism or jingoism. An anecdote has it that
Linton was rebuked by Boas when he appeared in class in his military uniform.[3]Whatever the cause,
shortly after his return to the United States, he transferred from Columbia to Harvard, where he studied withEarnest Hooton, Alfred Tozzer, and Roland Dixon.[1]
After a year of classes
at Harvard, Linton proceeded to do more fieldwork, first at Mesa Verde and then as a member of a
research team led by E.S.C. Handy under the auspices of the Bishop Museum to the Marquesas. While in the Pacific,
his focus shifted from archaeology to cultural anthropology,
although he would retain a keen interest in material culture and 'primitive'
art throughout his life. He returned from the Marquesas in 1922 and eventually
received his Ph.D. from Harvard in 1925.
Academic Career
Linton used his Harvard
connections to secure a position at the Field Museum of Chicago after his
return from the Marquesas. His official position was as Curator of American
Indian materials. He continued working on digs in Ohio which he had first begun
as a graduate student, but also began working through the museum's archival
material on thePawnee and published data
collected by others in a series of articles and museum bulletins. While at the
Field Museum he worked with illustrator and future children's book artist and
author Holling Clancy Holling.
Between 1925 and 1927,
Linton undertook an extensive collecting trip to Madagascar for the field
museum, exploring the western end of the Austronesian diaspora after having
studied the eastern end of this culture in the Marquesas. He did his own
fieldwork there as well, and the book that resulted, The Tanala: A Hill Tribe of
Madagascar (1933), was the
most detailed ethnography he would publish.[1]
On his return to the
United States, Linton took a position at the University of
Wisconsin–Madison, where the Department of Sociology had expanded to
include an anthropology unit. Linton thus served as the first member of what
would later become a separate department. Several of his students went on to
become important anthropologists, such asClyde Kluckhohn, Marvin Opler, Philleo Nash, and Sol Tax. Up to this point,
Linton had been primarily a researcher in a rather romantic vein, and his years
at Wisconsin were the period in which he developed his ability to teach and
publish as a theoretician. This fact, combined with his penchant for popular
writing and his intellectual encounter withRadcliffe-Brown (then at the University of Chicago),
led to the publication of his textbook The
Study of Man (1936).[1] It was also during this period
that he married his third wife,Adelin Hohlfeld, who worked as his secretary and editor as well as his
collaborator—many of the popular pieces published jointly by them (such as Halloween Through Twenty Centuries)
were in fact entirely written by Adelin Hohlfield.
In 1937 Linton came to
Columbia University, appointed to the post of head of the Anthropology
department after the retirement of Franz Boas. The choice was opposed
by most of Boas' students, with whom Linton had never been on good terms. The
Boasians had expected Ruth Benedict to be the choice for
Boas' successor. As head of the department Linton informed against Boas and
many of his students to the FBI, accusing them of being communists. This led to
some of them being fired and blacklisted, for example Gene Weltfish.[3] Throughout his life
Linton maintained an intense personal animosity against the Boasians,
particularly against Ruth Benedict, and he was a fierce critic of the Culture and Personality approach. According to Sidney Mintz who was a colleague of
Linton at Yale, he even once jokingly boasted that he had killed Benedict using
a Tanala magic charm.[4][5]
When World War II broke out, Linton became
involved in war-planning and his thoughts on the war and the role of the United
States (and American Anthropology) could be seen in several works of the
post-war period, most notably The
Science of Man in the World Crisis (1945)
and Most of the World. It
was during the war that Linton also undertook a long trip to South America,
where he experienced a coronary occlusion that left him in precarious health.
After the war Linton
moved to Yale University, a center for
anthropologists such as G. P. Murdock who had collaborated with
the US government. He taught there from 1946 to 1953, where he continued to
publish on culture and personality. It was during this period that he also
began writing The Tree of
Culture, an ambitious global overview of human culture. Linton was elected
a Fellow of the American Academy of Arts
and Sciences in 1950.[6] He died of complications
relating to his trip in South America on Christmas Eve, 1953. His wife, Adelin
Hohlfield Linton, completed The
Tree of Culture which went on
to become a popular textbook.
Work
The Study of Man established Linton as one
of anthropology's premier theorists, particularly amongst sociologists who
worked outside of the Boasian mainstream. In this work he developed the
concepts of status and role for describing the
patterns of behavior in society. According to Linton, ascribed status is assigned to an
individual without reference to their innate differences or abilities. Whereas Achieved status is determined by an
individual's performance or effort. Linton noted that while the definitions of
the two concepts are clear and distinct, it is not always easy to identify
whether an individual's status is ascribed or achieved. His perspective offers
a deviation from the view that ascribed statuses are always fixed. For Linton a role is the set of behaviors
associated with a status, and performing the role by doing the associated
behaviors is the way in which a status is inhabited.
Throughout this early
period Linton became interested in the problem of acculturation, working with Robert Redfield and Melville Herskovits on a prestigious Social
Science Research Council subcommittee of the Committee on Personality and
Culture. The result was a seminal jointly-authored piece entitled Memorandum for the Study of
Acculturation (1936). Linton
also obtained money from the Works Progress
Administration for students to produce
work which studied acculturation. The volume Acculturation
in Seven American Indian Tribes is
an example of the work in this period, and Linton's contributions to the volume
remain his most influential writings on acculturation. Linton's interest in
culture and personality also expressed itself in the form of a seminar he
organized with Abram Kardiner at the New York Psychoanalytic
Institute.
Referensi :
www.biografiku.com/
Langganan:
Postingan (Atom)