Selasa, 26 April 2016

Biografi Para Ahli Kebudayaan Dalam & Luar Negeri



Nama : Adidya Prapbandaru
NPM/Kelas : 50415139/1IA04


Biografi Para Ahli Kebudayaan dalam Negeri (Indonesia) 
Biografi
  • Koentjaraningrat
                                   Ayahnya R.M. Emawan Brotokoesomo, adalah seorang pamong praja di lingkungan Pakualaman. Ibunya, R.A. Pratisi Tirtotenojo, sering diundang sebagai penerjemah bahasaBelanda oleh keluarga Paku Alam. Walaupun anak tunggal, didikan ala Belanda yang diterapkan ibunya membuatnya menjadi pribadi yang disiplin dan mandiri sejak kecil. Koentjaraningrat tertarik pada bidang antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia, yang mengadakan penelitian lapangan diSumbawa. Sarjana Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia 1952, ini meraih gelar M.A. bidang Antropologi dari Yale University, AS, 1956 dan doktor antropologi dari Universitas Indonesia, 1958. Pak Koen, demikian ia disapa, merintis berdirinya sebelas jurusan antropologi di berbagai universitas di Indonesia. Ilmuwan yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris ini juga tekun menulis. Beberapa karya tulisnya telah menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa di Indonesia. Ia banyak menulis mengenai perkembangan antropologi Indonesia. Sejak tahun 1957 hingga 1999, ia telah menghasilkan puluhan buku serta ratusan artikel. Melalui tulisannya, ia mengajarkan pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Buah-buah p==ikirannya yang terangkum dalam buku kerap dijadikan acuan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan masyarakat Indonesia, baik oleh para ilmuwan Indonesia maupun asing. Salah satu bukunya yang menjadi pusat pembelajaran para mahasiswanya adalah Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1963. Dalam buku itu, diceritakan kegiatan Prof Dr Koentjaraningrat dalam menimba ilmu. Juga di dalamnya, dia menjadi tokoh pusat dalam perkembangan antropologi. Berbagai penghargaan telah dianugerahkan padanya atas pengabdiannya dalam pengembangan ilmu antropologi. Di antaranya, penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Pak Koen juga mendapat penghargaan Satyalencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI (1968 dan 1981).
Pendapat
Menurut Koentjaraningrat, bahwa pengertian kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengn belajar.  
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi
Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam. Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak. Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda. Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain. Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa. Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa. Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya. Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya. Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Pendapat : Kebudayaan berarti semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. 
  • Ki Hajar Dewantara 
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakankemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah namakapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa Muda
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain,Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivis Penggerak
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Exprespimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.



Dalam Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian terhadap Indonesia
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.


Pendapat
Menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa pengertian kebudayaan adalah buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertip dan damai. 
·         Drs. Mohammad Hatta
Biografi Mohammad Hatta. Siapa yang tidak mengenal salah satu pahlawan atau tokoh Proklamator Indonesia ini bersamaPresiden Soekarno. Sangat bersahaja dan sederhana hingga akhir hayatnya ini itulah sosok Mohammad Hatta yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda

                Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik. Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu. Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933). Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang

                Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944. Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan diLapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi

                Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu 
Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
                Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
                Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya. Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek. Pada tanggal 15 Agustus 1972, 
Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Pendapat
 Menurutnya pengertian kebudayaan adalah ciptaan hidu pdari suatu bangsa. 
·         R. Seokmono
Drs. R. Soekmono (lahir di Ketanggungan, kabupaten Brebes, 14 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 9 Juli 1997 pada umur 74 tahun) adalah salah satu arkeolog dari Indonesiadan pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1971-1983. Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soekmono termasuk dalam arkeolog pertama bangsa Indonesia yang berhasil menyelesaikan gelar sarjananya pada tahun 1953 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pak Soek, biasa dipanggil oleh rekan, bawahan, dan mahasiswanya. Bersama-sama dengan Satyawati Suleiman, Soejono, Boechari, Uka Tjandrasasmita, Basoeki dan arkeolog Belanda pada tahun 1954 melakukan ekspedisi ke Sumatera. Dari ekspedisinya itu, ia berpendapat bahwa pada masa Sriwijaya garis pantai Sumatera bagian timur terletak di daerah pedalaman. Di Jambi terdapat sebuah teluk, sedangkan kota Palembang terletak di ujung sebuah semenanjung. Pendapatnya ini terus dipertahankan hingga akhir hayatnya. Soekmono merupakan orang Indonesia pertama yang lulus sebagai doktorandus dalam bidang studi arkeologi. Setelah lulus tahun 1953, pada tahun itu juga ia diangkat sebagai Kepala Dinas Purbakala Republik Indonesia, suatu kedudukan yang sebelum itu dijabat oleh orang-orang Belanda. Jabatan ini terus dipangkunya hingga tahun 1973. Pada tahun 1970 ia dipercaya pemerintah untuk memimpin Proyek Pemugaran Candi Borobudur, sebuah proyek besar yang didanai oleh pemerintah RI dan UNESCO. Ditengah-tengah kesibukannya memimpin suatu proyek besar, pada tahun 1974 ia sempat menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Candi, Fungsi dan Pengertiannya" di Universitas Indonesia. Pada bidang studi inilah keahlian dan pengalamannya dapat diuji, terutama pengetahuannya mengenai candi-candi di Indonesia. Pengalamannya pada Proyek Pemugaran Candi Borobudur menjadikannya seorang ahli mengenai bangunan candi yang sedang ditanganinya. Di dunia internasional pengetahuannya mengenai konservasi bangunan monumental banyak dipakai. Beberapa jabatan yang berkaitan dengan masalah-masalah konservasi banyak disandangnya. Kesibukannya sebagai “praktisi arkeologi” tidak menjadikannya lupa akan dunia akademis. Pengetahuannya yang luas mengenai Sejarah Kebudayaan Indonesia, diamalkannya di ruang kuliah Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Batusangkar sebagai Dosen Luar Biasa (1953-1978). Pada tahun 1978 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemudian pada tahun 1986-1987 sebagai Guru Besar tamu di Rijksuniversiteit te Leiden, Belanda.
Pendapat
Pengertian kebudayaan menurut R. Soekmono adalah segala hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan. 
·         Parsudi Suparlan
Prof. Dr. Parsudi Suparlan (lahir di Jakarta, 3 April 1938 – meninggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 22 November 2007 pada umur 69 tahun) adalah seorangantropolog Indonesia. Ia memiliki kepakaran dalam bidang antropologi perkotaan, kemiskinan perkotaan, dan multikulturalisme.
Pendidikan
S1 Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia diselesaikannya pada tahun 1964. Pada tahun 1970 memperoleh kesempatan belajar di Universitas Illinois, Amerika Serikat, yang kemudian menyelesaikan MA pada tahun 1972 serta Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976.
Karier
Pada tahun 1961, diangkat sebagai asisten dosen dari Prof. Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga wafatnya pada program S1, S2, S3 Antropologi FISIP UI; di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Pada tahun 1999, Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi Pimpinan Redaksinya sejak saat itu.

Pendapat
sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya.       
Biografi Para Ahli Kebudayaan Luar Negeri 
  • Kluckhohn dan Kelly 
Clyde Kluckhohn (/ˈklʌkhoʊn/; January 11, 1905, Le Mars, Iowa – July 28, 1960, near Santa Fe, New Mexico), was an Americananthropologist and social theorist, best known for his long-term ethnographic work among the Navajo and his contributions to the development of theory of culture within American anthropology.
Early Life and education
Kluckhohn matriculated at Princeton University, but was forced by ill health to take a break from study and went to convalesce on a ranch in New Mexico owned by his mother's cousin's husband, Evon Z. Vogt. During this period he first came into contact with neighboring Navajo and began a lifelong love of their language and culture. He wrote two popular books based on his experiences in Navajo country, To the Foot of the Rainbow (1927) and Beyond the Rainbow (1933).
He resumed study at the University of Wisconsin–Madison and received his AB in Greek 1928. He then studied classics at Corpus Christi College, Oxford as a Rhodes Scholar in 1928-1930[1] For the following two years, he studied anthropology at the University of Vienna and was exposed to psychoanalysis.[1] After teaching at the University of New Mexico from 1932–34, he continued graduate work in anthropology at Harvard University where he received his Ph.D in 1936. He remained at Harvard as a professor in Social Anthropology and later also Social Relations for the rest of his life.[2][3]
Major Works
In 1949, Kluckhohn began to work among five adjacent communities in the Southwest: Zuni, Navajo, Mormon (LDS), Spanish-American (Mexican-American), and Texas Homesteaders[4] A key methodological approach that he developed together with his wife Florence Rockwood Kluckhohn and colleagues Evon Z. Vogt and Ethel M. Albert, among others, was the Values Orientation Theory. They believed that cross-cultural understanding and communication could be facilitated by analyzing a given culture's orientation to five key aspects of human life: Human Nature (people seen as intrinsically good, evil, or mixed); Man-Nature Relationship (the view that humans should be subordinate to nature, dominant over nature, or live in harmony with nature); Time (primary value placed on past/tradition, present/enjoyment, or future/posterity/delayed gratification); Activity (being, becoming/inner development, or doing/striving/industriousness); and Social Relations (hierarchical, collateral/collective-egalitarian, or individualistic). The Values Orientation Method was developed furthest by Florence Kluckhohn and her colleagues and students in later years.[5][6]
Kluckhohn received many honors throughout his career. In 1947 he served as president of the American Anthropological Association and became first director of the Russian Research Center at Harvard. In the same year his book Mirror for Man won the McGraw Hill award for best popular writing on science.
Kluckhohn initially believed in the biological equality of races but later reversed his position. Kluckhohn wrote in 1959 that "in the light of accumulating information as to significantly varying incidence of mapped genes among different peoples, it seems unwise to assume flatly that ‘man’s innate capacity does not vary from one population to another’.... On the premise that specific capacities are influenced by the properties of each gene pool, it seems very likely indeed that populations differ quantitatively in their potentialities for particular kinds of achievement.”[7]
Clyde Kluckhohn died of a heart attack in a cabin on the Upper Pecos River near Santa Fe, New Mexico. He was survived by his wife, Dr. Florence Rockwood Kluckhohn, who also taught anthropology at Harvard's Department of Social Relations. Clyde Kluckhohn was also survived by his son, Richard Kluckhohn. Most of his papers are held at Harvard University, but some early manuscripts are kept at the University of Iowa.
Pendapat
Pengertian kebudayaan menurut Kluckhohn dan Kelly, adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang tersurat maupun yang tersirat, rasional, irasional yang ada pada suatu waktu sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. 
  • Nostrand
Francis D. K. "Frank" Ching (born 1943) is an architecture and design graphics writer. He is a currently Professor Emeritus at theUniversity of Washington. Ching was born and raised in Hawaii. He received his B.Arch. from the University of Notre Dame in 1966. After several years of practice, in 1972 he joined the faculty at Ohio University to teach drawing. To support his lectures in architectural graphics, Ching hand-drew and hand-lettered his lecture notes. These notes were eventually shown to the publisher, Van Nostrand Reinhold, and were published, in 1974, in an edited version asArchitectural Graphics, (a book now in its fourth edition). Ching went on to produce twelve other books, including Building Construction Illustrated and Architecture: Form, Space & Order. Ching's printing has been adopted by Adobe in its Tekton font family. Ching was, for a time, an architecture faculty member at the University of Wisconsin–Milwaukee. By the late 1980s he had begun teaching at the University of Washington in the Department of Architecture. He became a full professor in 1991. For the next fifteen years, he routinely taught introductory architecture studios and directed beginning graphics classes. In 2006 Ching retired, though he continued to teach on a part-time basis until 2011. He now holds the rank of Professor Emeritus. He taught as a visiting faculty member at Tokyo Institute of Technology in 1990 and at the Chinese University of Hong Kong in 1993. Ching has received the Honorary Degree of Doctor of Design from Nottingham Trent University; the S. Y. Chung Visiting Fellowship, New Asia College, Chinese University of Hong Kong; and a Citation for Excellence in International Architecture Book Publishing. Ching received the Special Jury Commendation in the 2007 Cooper-Hewitt National Design Awards, and an AIA 2007 Institute Honor Award for Collaborative Achievement. Since 2012, Ching has been actively posting on his blog Seeing.Thinking.Drawing. Most of his posts feature personal sketches of various locales around Washington state.
Pendapat
Menurut Nostrand, kebudayaan adalah sebagai sikap dan kepercayaan, cara berfikir, berperilaku, dan mengingat bersama oleh anggota komunitas tersebut. 

  • Rober Lowie
Robert Harry Lowie (born Robert Heinrich Löwe; June 12, 1883 – September 21, 1957) was an Austrian-born Americananthropologist. An expert on North American Indians, he was instrumental in the development of modern anthropology.
Biography
Lowie was born and spent the first ten years of his life in Vienna, Austria-Hungary, but came to the United States in 1893. He studied at the College of the City of New York, where in 1896 he met and became friends with Paul Radin and from where he acquired his BA in Classical Philology in 1901. After a short stint as a teacher, he began studying chemistry at Columbia University, but soon switched to anthropology under the tutelage of Franz Boas, Livingston Farrand and Clark Wissler. Influenced by Clark Wissler, Lowie began his first fieldwork on the Lemhi Reservation in Idaho in the Northern Shoshone in 1906. He graduated (Ph.D.) in 1908. In 1909, he became assistant curator to Clark Wissler at the American Museum of Natural History, New York. During his time there, Lowie became a specialist in American Indians, being active in field research, particularly in several excursions to the Great Plains. This work led in particular to his identification with the Crow Indians. In 1917, he became assistant professor at the University of California, Berkeley. From 1925 until his retirement in 1950, he was professor of anthropology at Berkeley, where, along with Alfred Louis Kroeber, he was a central figure in anthropological scholarship.
Lowie undertook several expeditions to the Great Plains, where he conducted ethnographic fieldwork at the Absarokee (Crow, 1907, 1910–1916, 1931), Arikaree, Hidatsa,Mandan and Shoshone (1906, 1912–1916). Shorter research expeditions led him to the southwestern United States, the Great Basin and to South America where he was inspired by Curt Nimuendaju. The focus of some of Lowie's work was salvage ethnography, the rapid collection of data from cultures close to extinction.
Ruth Benedict and Robert Lowie were both commissioned during World War II to write a piece about an enemy during wartime by the United States Office of War Information. Unlike Benedict's, Chrysanthemum and the Sword in which she describes the culture of Japan, without ever having set foot in Japan, Lowie could at least draw on his recollections from the German-speaking world of his childhood. In his book, The German People, Lowie took a cautious approach and stressed his ignorance of what was going on in his country of origin at this time. Once the war had ended, Lowie made several short trips to Germany.
Together with Alfred Kroeber, Lowie was one of the first generation of students of Franz Boas. His theoretical orientation was within the Boasian mainstream of anthropological thought, emphasizing cultural relativism and opposed to the cultural evolutionism of the Victorian era. Like many prominent anthropologists at the time, including Boas, his scholarship originated in the school of German idealism and romanticism espoused by earlier thinkers such as Kant, Georg Hegel and Johann Gottfried Herder. Lowie, somewhat stronger than his mentor Boas, emphasized historical components and the element of variability in his works. For him, cultures were not finished constructs, but always changing and he stressed the idea that cultures could interact.
Lowie influenced the discipline of social anthropology through his use of a system to distinguish kinship relationships: he identified four main systems, which differed based on the names of the relatives of the first ascending generation, i.e. the parent generation. His Classification Scheme was slightly modified by George P. Murdock by dividing one of the Lowie's four systems into a further three types.
·         Sir Edwards B Tylor
Sir Edward Burnett Tylor (2 Oktober 18322 Januari 1917), adalah seorang antropolog yang berasal dari Inggris.
Tylor dikenal melalui jasanya dalam penelitian evolusi kebudayaan. Dalam karyanya Primitive culture dan Anthropology, ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari dari teori evolusi Charles Darwin. Dia percaya bahwa ada sebuah basis fungsional dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang ia anggap bersifat universal.
Ia juga memperkenalkan kembali istilah animisme (kepercayaan terhadap jiwa dan roh-roh nenek moyang) yang ia anggap sebagai sebuah fase awal dalam perkembangan agama.
Pendapat : suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 
Pendapat
               

  • William Haviland
William Haviland (1718 – 16 September 1784) was an Irish-born general in the British Army. He is best known for his service in North America during the Seven Years' War.
Life
William Haviland was born in Ireland in 1718. He entered military service as an ensign in the 43rd Foot in 1739, and first saw action during the War of Jenkins' Ear in a failed expedition against Cartagena (in present-day Colombia). He then served during the Jacobite Rising of 1745, and rose to the rank of lieutenant colonel by 1752.
In 1757 he was sent to North America, where he was first in Lord Loudoun's aborted expedition to Louisbourg. That winter, as a colonel he was placed in command of Fort Edward on the upper Hudson River, the forward outpost on the frontier between British New York and French Canada. He participated in James Abercrombie's disastrous attack on Fort Carillon in 1758, leading one of the attacking columns. In 1759 he served under Jeffery Amherst in his capture of Carillon, and was rewarded with promotion to brigadier general and command of the 1760 expedition from Ticonderoga to Montreal, upon which he joined Amherst and Murray there at the capitulation of Canada in September 1760.[1]
He was then sent by Amherst, who had by then become Governor-General of British North America,[2] to the West Indies, where he participated in the reduction of Martinique andCuba in 1762, which garnered him a promotion to major general.
He was promoted to lieutenant general in 1774, and served in the defense of Great Britain. He was promoted a full general in 1783, and died the following year. He was twice married, with a son and daughter by his second wife.
During the Seven Years' War Haviland invented a kind of slide rule "that permitted an officer to quickly determine the number of men to be detached from each company of a regiment, or from a regiment in a larger force, if a draft was made against it, consisting of two circular wheels, one within the other, made of ivory, about three inches across, with useful information on regimental organization etched into the back, which was possibly the first mechanical administrative aide ever invented for officers serving in the field.
Pendapat
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.

·         Francis Merill

Joseph Francis Merrill (August 24, 1868 – February 3, 1952) was a member of the Quorum of the Twelve Apostles of The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints (LDS Church) from 1931 until his death. Merrill was a key figure in the development of the Church Educational System in the early twentieth century. He served as the sixth Commissioner of Church Education from 1928 to 1933. Prior to his service as commissioner, he played a significant role in the creation of the "released time" LDS Church seminary system. His tenure as commissioner saw the creation of theInstitutes of Religion and the transfer of nearly all the remaining church schools to control of the states they resided in. He also faced a crisis in 1930 and 1931 which threatened to end the released time seminary, but the LDS Church education system survived the Great Depression under his leadership . In 1931, while still serving as commissioner, Merill was called to serve in the Quorum of the Twelve Apostles.
Early Life
Merrill was born in Richmond, Utah Territory. The son of LDS Church apostle Marriner W. Merrill, Merrill was among the first Latter-day Saints from Utah to travel to the eastern United States to seek higher education. He studied at the University of Deseret, the University of Michigan, and Johns Hopkins University; he was the first native Utahn to receive a Ph.D.[1] While at the University of Michigan, Merrill was the president of the Ann Arbor Branch of the LDS Church. Upon his return to Utah, Merrill became the director of the School of Mines at the University of Utah. In 1895, he became the first principal of the University of Utah College of Engineering. (The Merrill Engineering building on the University of Utah campus is named in his honor.) In 1911, Merrill was called to serve in the presidency of the Granite Utah Stake of the LDS Church.
In 1898, Merrill married Annie Laura Hyde, the daughter of Alonzo Hyde and Annie Taylor Hyde. Merrill and his wife would become the parents of six children.
Church Education Role

Upon hearing his wife relate stories from the Book of Mormon she had learned in a class taught by James E. Talmage, Merrill began to seek means for students attending public high schools to have some form of weekday religious education. Influenced by Christian seminaries he had seen at the University of Chicago, Merrill worked with the Granite School Board and the Church General Board of Education to secure the necessary funding and legal rights to open an LDS seminary next to Granite High School. In his search for a proper teacher to instruct the youth, Merrill wrote. May I say that it is the desire of the Presidency of the Stake to find a young man who is properly qualified to do the work in the most satisfactory manner. By young, we do not necessarily mean a teacher who is young in years, but a man who can command their respect and admiration and exercise great influence over them. We want a man who can enjoy student sports and activities as well as one who is a good teacher. We want a man who is a thorough student, one who will not teach in a perfunctory way, but who will enliven his instruction with a strong winning personality and give evidence of thorough understanding of a scholarship in the things he teaches. It is desired that the school be thoroughly successful and a teacher is wanted who is a leader and who will be universally regarded as the inferior to no teacher in the high school. Merrill found the right man in Thomas J. Yates, a young engineer in the Granite Stake. After the building completed and the curriculum developed, the first released-time LDS seminary opened its doors in 1912. In 1928, Merrill left his position at the University of Utah to serve as the head of the LDS Church school system. Upon Merrill’s acceptance, the name of the position was officially changed from “Superintendent of Church Schools” to "Church Commissioner of Education". As commissioner, Merrill faced several unique challenges. Merrill took over the development of the first institute program at Moscow, Idaho. Working with J. Wyley Sessions, Merrill helped develop the basic goals of the institute program, which he felt should be designed to help students reconcile the secular learning of university with the spiritual truths of the church. He wrote: In this collegiate seminary work we are, of course, starting on a new thing in the Church. But if we keep the objective clearly in mind it may be helpful. And may I say that this objective, as I see it, is to enable our young people attending the colleges to make the necessary adjustments between the things they have been taught in the Church and the things they are learning in the university, to enable them to become firmly settled in their faith as members of the Church. The big question, then, is what means and methods can be employed to help them to make these reconciliations and adjustments. The primary purpose, therefore, is not to teach them theology. It is not to prepare them for seminary teachers or preachers of the Gospel. We should, therefore, continually hold before our minds that we want to hold them in the Church, make them active, intelligent, sincere, Latter-day Saints. We want to keep them from growing cold in the faith and indifferent to their obligations as Church members. We want to help them to see that it is perfectly reasonable and logical to be really sincere Latter-day Saints.
With the successful launch of institute, Merrill's next task was to facilitate the withdrawal of the LDS Church from the field of secular education in the United States. Most of the church schools had already been closed in the early 1920s, but Brigham Young University (BYU) and several junior colleges remained under church control. In a meeting of the Church General Board of Education in February 1929, Merrill was asked to begin the process of closing all of the remaining schools. Despite the onset of the Great Depression, Merrill was able to successfully negotiate with the Utah State Legislature to ensure the successful transfer of Weber, Snow and Dixie Colleges from the LDS Church to Utah. In Arizona, Gila College was also transferred to the state and was later renamed Eastern Arizona College. When the Idaho legislature rejected an offer to take control of Ricks College, Merrill worked to ensure the its survival as a private school, despite seriously diminished funding. Merrill also worked with other church leaders to keep BYU under church control. He felt that maintaining one university was vital for the future training of seminary teachers. He saw the value in maintaining a corps of trained scholars who were well versed in the teachings of the church. In addition, he felt that a church university would be a light to the world, functioning as a showcase for the academic achievements of church members. During his service, Merrill encouraged Sidney B. Sperry and Russel B. Swensen to seek higher degrees at the University of Chicago. Upon their return, Merrill sent these men to BYU, where they formed the university's first department of religion. In 1930, state high school inspector I. L. Williamson issued a highly critical report on the relationships between LDS seminaries and public high schools in Utah. Influenced by this report, the Utah State Board of Education moved to suspend released time privileges statewide. Merrill worked to ensure the continuation of released time, speaking before the State Board to in an attempt to convince them of the benefits and legality of seminary. When the Board voted on the issue in 1931, both released time and credit for Bible study were retained. With most of the LDS Church-run schools eliminated by this point, Merrill's action ensured the survival of what would become the dominant form of religious education for the church in Utah. Merrill also dealt with the effects of the Great Depression, cutting costs in education. Rather than laying off employees, Merrill asked all members of church education to take pay cuts. During his service, church spending on education was cut nearly in half. Despite the hard times he saw during his tenure as commissioner, Merrill took great joy in his work. Upon his call as commissioner he said: Again may I say that I believe there is no kind of education in the world that is so fine and so elevating and so good and so important as religious education. And I believe that nowhere in the world is there a system of religious education that is equal in its quality, in its thoroughness and in its comprehensiveness to the system of education that is being undertaken in this Church. The time will come, I verily believe, and before very many years, when week-day religious education will be offered to every high school boy and girl, to every college and university boy and girl in this Church.


Mission President

When Merrill left Utah in 1933 to serve as president of the European Mission of the church, he passed his fiscal philosophies on to the missionaries serving under him. One of them, future apostle and church president Gordon B. Hinckley, cited Merrill's influence as a major factor in his own financial thinking. J. Wyley Sessions called Merrill the "most economical, conservative General Authority of this dispensation.

Later Life

Merrill served as an apostle until his death in 1952 in Salt Lake City from coronary thrombosis. Upon his death, fellow apostle Joseph Fielding Smith offered the following tribute: "I marveled at his energy. Apparently he never got tired; he loved the truth. He loved the truth of science, but he loved more the truths of the gospel of Jesus Christ ... He had a strong will, was pronounced in his opinions, but he was always submissive to the majority decisions of his brethren. Merrill was buried at Salt Lake City Cemetery.

Pendapat
Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social. semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
·         Ralph Linton
Ralph Linton (27 February 1893 – 24 December 1953) was a respected American anthropologist of the mid-20th century, particularly remembered for his texts The Study of Man (1936) and The Tree of Culture (1955). One of Linton's major contributions to anthropology was defining a distinction between status and role.

Early life and Education
Linton was born into a family of Quaker restaurant entrepreneurs in Philadelphia in 1893 and entered Swarthmore College in 1911. He was an indifferent student and resisted his father's pressures to prepare himself for the life of a professional. He grew interested in archaeology after participating in a field school in the southwest and took a year off of his studies to participate in another archaeological excavation at Quiriguá in Guatemala. Having found a strong focus he graduated Phi Beta Kappa in 1915.[1]
Although Linton became a prominent anthropologist, his graduate education took place largely at the periphery of the discipline. He attended the University of Pennsylvania, where he earned his master's degree studying with Frank Speck while undertaking additional archaeological field work in New Jersey and New Mexico.[1]
He was admitted to a Ph.D. program at Columbia University thereafter, but did not become close to Franz Boas, the doyen of anthropology in that era. When America entered World War I, Linton enlisted and served in France during 1917-1919 with Battery D,149th Field Artillery, 42nd (Rainbow) Division. Linton served as a corporal and saw battle at the trenches, experiencing first hand a German gas attack. Linton's military experience would be a major influence on his subsequent work. One of his first published articles was "Totemism and the A.E.F.” (Published in American Anthropologist vol. 26:294-300)", in which he argued that the way in which military units often identified with their symbols could be considered a kind of totemism.[2]
His military fervor probably did not do anything to improve his relationship with the pacifist Franz Boas, who abhorred all displays ofnationalism or jingoism. An anecdote has it that Linton was rebuked by Boas when he appeared in class in his military uniform.[3]Whatever the cause, shortly after his return to the United States, he transferred from Columbia to Harvard, where he studied withEarnest Hooton, Alfred Tozzer, and Roland Dixon.[1]
After a year of classes at Harvard, Linton proceeded to do more fieldwork, first at Mesa Verde and then as a member of a research team led by E.S.C. Handy under the auspices of the Bishop Museum to the Marquesas. While in the Pacific, his focus shifted from archaeology to cultural anthropology, although he would retain a keen interest in material culture and 'primitive' art throughout his life. He returned from the Marquesas in 1922 and eventually received his Ph.D. from Harvard in 1925.
Academic Career
Linton used his Harvard connections to secure a position at the Field Museum of Chicago after his return from the Marquesas. His official position was as Curator of American Indian materials. He continued working on digs in Ohio which he had first begun as a graduate student, but also began working through the museum's archival material on thePawnee and published data collected by others in a series of articles and museum bulletins. While at the Field Museum he worked with illustrator and future children's book artist and author Holling Clancy Holling.
Between 1925 and 1927, Linton undertook an extensive collecting trip to Madagascar for the field museum, exploring the western end of the Austronesian diaspora after having studied the eastern end of this culture in the Marquesas. He did his own fieldwork there as well, and the book that resulted, The Tanala: A Hill Tribe of Madagascar (1933), was the most detailed ethnography he would publish.[1]
On his return to the United States, Linton took a position at the University of Wisconsin–Madison, where the Department of Sociology had expanded to include an anthropology unit. Linton thus served as the first member of what would later become a separate department. Several of his students went on to become important anthropologists, such asClyde Kluckhohn, Marvin Opler, Philleo Nash, and Sol Tax. Up to this point, Linton had been primarily a researcher in a rather romantic vein, and his years at Wisconsin were the period in which he developed his ability to teach and publish as a theoretician. This fact, combined with his penchant for popular writing and his intellectual encounter withRadcliffe-Brown (then at the University of Chicago), led to the publication of his textbook The Study of Man (1936).[1] It was also during this period that he married his third wife,Adelin Hohlfeld, who worked as his secretary and editor as well as his collaborator—many of the popular pieces published jointly by them (such as Halloween Through Twenty Centuries) were in fact entirely written by Adelin Hohlfield.
In 1937 Linton came to Columbia University, appointed to the post of head of the Anthropology department after the retirement of Franz Boas. The choice was opposed by most of Boas' students, with whom Linton had never been on good terms. The Boasians had expected Ruth Benedict to be the choice for Boas' successor. As head of the department Linton informed against Boas and many of his students to the FBI, accusing them of being communists. This led to some of them being fired and blacklisted, for example Gene Weltfish.[3] Throughout his life Linton maintained an intense personal animosity against the Boasians, particularly against Ruth Benedict, and he was a fierce critic of the Culture and Personality approach. According to Sidney Mintz who was a colleague of Linton at Yale, he even once jokingly boasted that he had killed Benedict using a Tanala magic charm.[4][5]
When World War II broke out, Linton became involved in war-planning and his thoughts on the war and the role of the United States (and American Anthropology) could be seen in several works of the post-war period, most notably The Science of Man in the World Crisis (1945) and Most of the World. It was during the war that Linton also undertook a long trip to South America, where he experienced a coronary occlusion that left him in precarious health.
After the war Linton moved to Yale University, a center for anthropologists such as G. P. Murdock who had collaborated with the US government. He taught there from 1946 to 1953, where he continued to publish on culture and personality. It was during this period that he also began writing The Tree of Culture, an ambitious global overview of human culture. Linton was elected a Fellow of the American Academy of Arts and Sciences in 1950.[6] He died of complications relating to his trip in South America on Christmas Eve, 1953. His wife, Adelin Hohlfield Linton, completed The Tree of Culture which went on to become a popular textbook.
Work
The Study of Man established Linton as one of anthropology's premier theorists, particularly amongst sociologists who worked outside of the Boasian mainstream. In this work he developed the concepts of status and role for describing the patterns of behavior in society. According to Linton, ascribed status is assigned to an individual without reference to their innate differences or abilities. Whereas Achieved status is determined by an individual's performance or effort. Linton noted that while the definitions of the two concepts are clear and distinct, it is not always easy to identify whether an individual's status is ascribed or achieved. His perspective offers a deviation from the view that ascribed statuses are always fixed. For Linton a role is the set of behaviors associated with a status, and performing the role by doing the associated behaviors is the way in which a status is inhabited.
Throughout this early period Linton became interested in the problem of acculturation, working with Robert Redfield and Melville Herskovits on a prestigious Social Science Research Council subcommittee of the Committee on Personality and Culture. The result was a seminal jointly-authored piece entitled Memorandum for the Study of Acculturation (1936). Linton also obtained money from the Works Progress Administration for students to produce work which studied acculturation. The volume Acculturation in Seven American Indian Tribes is an example of the work in this period, and Linton's contributions to the volume remain his most influential writings on acculturation. Linton's interest in culture and personality also expressed itself in the form of a seminar he organized with Abram Kardiner at the New York Psychoanalytic Institute.

Referensi :
www.biografiku.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar